Pernikahan Putri Sultan Hamengku Buwono X, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Bendara dengan Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Yudanegara menjadi oase di antara hiruk pikuk berita reshuffle dan polah elite yang terjerat hukum di negeri ini. Lebih dari itu, royal wedding ala Keraton Yogyakarta ini menjadi bukti bahwa budaya kita belum mati tergerus modernisasi.
Pertanyaan yang kemudian mengemuka, sampai kapan ritual budaya yang terbungkus dalam kehidupan keraton-keraton seperti di Kesultanan Yogyakarta ini bertahan? Bukan rahasia, keraton-keraton di Indonesia terbengkalai. Perhatian pemerintah sangat minim. Simbol-simbol penjaga budaya adi luhung ini berjalan menuju titik nadir. Karena itu, harus ada tindakan nyata pemerintah untuk menyelamatkan kehidupan keraton.
Pemerintah layak membiayai keraton-keraton besar yang menjadi simbol akar budaya bangsa. Keberlanjutan kehidupan keraton-keraton di seluruh Nusantara berarti melestarikan budaya bangsa sekaligus menggairahkan kegiatan bisnis dan pariwisata. Budaya dan tradisi di masa lampau bukan gambaran kekunoan melainkan justru menjadi nilai jual berharga sebuah bangsa.
Ritual pernikahan GKR Bendara dengan KPH Yudanegara adalah bukti. Pihak Kraton sedikitnya menyebar 2.500 undangan. Tamu undangan yang hadir bukan hanya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Budiono melainkan juga sejumlah pemuka pemerintahan dari negara-negara lain. Nama harum Yogyakarta secara khusus dan Indonesia secara umum terpancar dari acara agung ini. Ritual budaya seperti pada prosesi pernikahan ini menjadi penunjuk bahwa Indonesia tidak identik dengan teroris atau budaya kekerasan.
Arak-arakan rombongan keluarga keraton mengendarai tiga kereta kencana Kyai Kutho Kaharjo, Kyai Puspoko Manik, dan Kyai Kus Gading menjadi pertanda betapa besar dan kaya budaya kita di masa lalu. Inilah yang akan ditunjukkan kepada dunia sebagai pesta bersama.
Sekitar 200 angkringan gratis akan disajikan di sepanjang Jalan Malioboro, Yogyakarta. Angkringan tersebut disediakan oleh warga Yogyakarta sebagai wujud rasa bahagia dari rakyat untuk keraton yang sedang menggelar pesta pernikahan.
Betapa elok bila keraton-keraton lain, dengan berbagai keunikannya, dapat seperti keraton Yogya berhasil menjadi simbol peradaban masa lalu yang masih menjaga akar budaya bangsa. Kini sekurangnya terdapat 49 keraton di Indonesia baik berbentuk kesulatanan, kasunanan dan bentuk kerajaan lainnya. Sayang, sebagian dari jumlah tersebut hanya tinggal nama dan bangunan. Sedangkan kegiatan keraton dan segala macam pernik ritual adat, sudah tiada.
Perkembangan zaman seiring berubahnya pemerintahan dan tata negara telah membawa perubahan pada keraton. Kawasan di dalam keraton atau yang disebut njeron beteng (dalam benteng) kini tak lagi monopoli keluarga raja dan abdi dalem. Benteng fisik boleh tertembus, namun di usia dua setengah abad Keraton Yogyakarta, adat istiadat keraton tidak serta merta tergerus. Jati diri tetap kokoh berdiri.
Sayang, kita lupa memberikan penghargaan kepada mereka yang terus menjaga budaya itu. Kita tidak menyadari bahwa tugas dan kewajiban menjaga adat budaya tidak semudah menjaga materi yang kelihatan. “Para penjaga” itu harus hidup di dalamnya serta rela tidak larut pada tata kehidupan dan budaya kebanyakan. Latar belakang inilah yang seharusnya menggugah kita semua memberikan penghormatan dan penghargaan.
Ketika keraton terbengkalai, tidak jelas lembaga mana yang harus bertanggung jawab. Sampai saat ini perhatian pemerintah terhadap keberlangsungan kehidupan keraton sangat minim. Banyak keraton yang tak lagi bisa menghidupi diri sendiri karena tak ada lagi sistem pemerintahan kerajaan yang memungkinkan keraton hidup. Sementara subsidi pemerintah tak mencukupi.
Salah satu contoh paling nyata adalah fenomena pencurian benda-benda budaya dari museum keraton. Minimnya anggaran bagi museum-musem benda bersejarah milik keraton, membuka peluang terjadinya penyelewengan maupun tindak kriminal pencurian benda bersejarah.
Museum pelat merah relatif terpelihara dan representatif sementara museum keraton justru dikategorikan museum swasta. Kondisi ini sangat kontradiktif dengan kampanye pemerintah berkaitan dengan pariwisata. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata mengkampanyekan “Wonderfull Indonesia” yang meliputi antara lain keindahan alam, keindahan budaya, keramahan masyarakat namun abai terhadap bagian yang menjadikan Indonesia wonderfull.
Mengaca pada negara-negara maju seperti Inggris dan Jepang, tampaknya kita butuh payung hukum untuk melindungi kehidupan keraton. Peraturan Menteri Dalam Negeri No 39 Tahun 2007 tentang Fasilitasi Keraton sampai saat ini belum cukup “membentengi” eksistensi keraton. Peraturan tersebut tidak mengikutsertakan secara jelas tanggung jawab pemerintah terutama dalam pengalokasian anggaran demi keberlanjutan kehidupan keraton. Kita berharap pemerintah tidak hanya berharap mendapatkan manfaat dari ritual-ritual agung seperti royal wedding ala Yogyakarta, namun juga ikut serta memikirkan keberlangsungan kehidupan keraton se-Nusantara.
Pertanyaan yang kemudian mengemuka, sampai kapan ritual budaya yang terbungkus dalam kehidupan keraton-keraton seperti di Kesultanan Yogyakarta ini bertahan? Bukan rahasia, keraton-keraton di Indonesia terbengkalai. Perhatian pemerintah sangat minim. Simbol-simbol penjaga budaya adi luhung ini berjalan menuju titik nadir. Karena itu, harus ada tindakan nyata pemerintah untuk menyelamatkan kehidupan keraton.
Pemerintah layak membiayai keraton-keraton besar yang menjadi simbol akar budaya bangsa. Keberlanjutan kehidupan keraton-keraton di seluruh Nusantara berarti melestarikan budaya bangsa sekaligus menggairahkan kegiatan bisnis dan pariwisata. Budaya dan tradisi di masa lampau bukan gambaran kekunoan melainkan justru menjadi nilai jual berharga sebuah bangsa.
Ritual pernikahan GKR Bendara dengan KPH Yudanegara adalah bukti. Pihak Kraton sedikitnya menyebar 2.500 undangan. Tamu undangan yang hadir bukan hanya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Budiono melainkan juga sejumlah pemuka pemerintahan dari negara-negara lain. Nama harum Yogyakarta secara khusus dan Indonesia secara umum terpancar dari acara agung ini. Ritual budaya seperti pada prosesi pernikahan ini menjadi penunjuk bahwa Indonesia tidak identik dengan teroris atau budaya kekerasan.
Arak-arakan rombongan keluarga keraton mengendarai tiga kereta kencana Kyai Kutho Kaharjo, Kyai Puspoko Manik, dan Kyai Kus Gading menjadi pertanda betapa besar dan kaya budaya kita di masa lalu. Inilah yang akan ditunjukkan kepada dunia sebagai pesta bersama.
Sekitar 200 angkringan gratis akan disajikan di sepanjang Jalan Malioboro, Yogyakarta. Angkringan tersebut disediakan oleh warga Yogyakarta sebagai wujud rasa bahagia dari rakyat untuk keraton yang sedang menggelar pesta pernikahan.
Betapa elok bila keraton-keraton lain, dengan berbagai keunikannya, dapat seperti keraton Yogya berhasil menjadi simbol peradaban masa lalu yang masih menjaga akar budaya bangsa. Kini sekurangnya terdapat 49 keraton di Indonesia baik berbentuk kesulatanan, kasunanan dan bentuk kerajaan lainnya. Sayang, sebagian dari jumlah tersebut hanya tinggal nama dan bangunan. Sedangkan kegiatan keraton dan segala macam pernik ritual adat, sudah tiada.
Perkembangan zaman seiring berubahnya pemerintahan dan tata negara telah membawa perubahan pada keraton. Kawasan di dalam keraton atau yang disebut njeron beteng (dalam benteng) kini tak lagi monopoli keluarga raja dan abdi dalem. Benteng fisik boleh tertembus, namun di usia dua setengah abad Keraton Yogyakarta, adat istiadat keraton tidak serta merta tergerus. Jati diri tetap kokoh berdiri.
Sayang, kita lupa memberikan penghargaan kepada mereka yang terus menjaga budaya itu. Kita tidak menyadari bahwa tugas dan kewajiban menjaga adat budaya tidak semudah menjaga materi yang kelihatan. “Para penjaga” itu harus hidup di dalamnya serta rela tidak larut pada tata kehidupan dan budaya kebanyakan. Latar belakang inilah yang seharusnya menggugah kita semua memberikan penghormatan dan penghargaan.
Ketika keraton terbengkalai, tidak jelas lembaga mana yang harus bertanggung jawab. Sampai saat ini perhatian pemerintah terhadap keberlangsungan kehidupan keraton sangat minim. Banyak keraton yang tak lagi bisa menghidupi diri sendiri karena tak ada lagi sistem pemerintahan kerajaan yang memungkinkan keraton hidup. Sementara subsidi pemerintah tak mencukupi.
Salah satu contoh paling nyata adalah fenomena pencurian benda-benda budaya dari museum keraton. Minimnya anggaran bagi museum-musem benda bersejarah milik keraton, membuka peluang terjadinya penyelewengan maupun tindak kriminal pencurian benda bersejarah.
Museum pelat merah relatif terpelihara dan representatif sementara museum keraton justru dikategorikan museum swasta. Kondisi ini sangat kontradiktif dengan kampanye pemerintah berkaitan dengan pariwisata. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata mengkampanyekan “Wonderfull Indonesia” yang meliputi antara lain keindahan alam, keindahan budaya, keramahan masyarakat namun abai terhadap bagian yang menjadikan Indonesia wonderfull.
Mengaca pada negara-negara maju seperti Inggris dan Jepang, tampaknya kita butuh payung hukum untuk melindungi kehidupan keraton. Peraturan Menteri Dalam Negeri No 39 Tahun 2007 tentang Fasilitasi Keraton sampai saat ini belum cukup “membentengi” eksistensi keraton. Peraturan tersebut tidak mengikutsertakan secara jelas tanggung jawab pemerintah terutama dalam pengalokasian anggaran demi keberlanjutan kehidupan keraton. Kita berharap pemerintah tidak hanya berharap mendapatkan manfaat dari ritual-ritual agung seperti royal wedding ala Yogyakarta, namun juga ikut serta memikirkan keberlangsungan kehidupan keraton se-Nusantara.
Good info intan , posting truss y yg bnyk , info2 lainya ditunggu :D
BalasHapus